Rabu, 14 November 2012

SIAPA SEBENARNYA ABU NAWAS?



Abu Nawas. Siapa pun pasti pernah mendengar nama ini. Di negara kita, ia dikenal sebagai seorang tokoh cerdik yang sarat dengan cerita-cerita lucu. Perseteruannya dengan Raja Harun al-Rasyid selalu menjadi cerita utama anak-anak kecil. Hebatnya, kisah lucu Abu Nawas seakan tak pernah habis. Selalu ada cerita lucu yang baru hingga akhirnya ia dikenal dengan seorang humoris yang sangat pintar. Raja Harun al-Rasyid, yang disebut sebagai Raja Dinasti Abbasiyah paling pintar, tak pernah berhasil mengalahkannya. Berbagai macam cara atau tipudaya dilakukan oleh raja Harun dan Abu Nawasdengan kecerdikannya selalu selamat dari ancaman penjara atau hukuman dari Raja Harun.Syair 'Ilahi lastu lil firdausi ahlan. Wa la aqwa ala nari al-jahimi' yang sering kita dengar sebagai karya Abu Nawas, menggambarkan betapa jenakanya tokoh dari Baghdad itu. Konon, di dalam kubur Abu Nawas membaca doa di atas sehingga ia selamat dari amukan Munkar-Nakir. Kalau diartikan secara harfiah, doa itu memang agak lucu: masuk surga tak pantas, masuk neraka tidak kuat. Mungkin, dari sikap-sikapnya yang nyeleneh, akhirnya banyak yang mempercayai bahwa Abu Nawas adalah wali Allah atau minimal seorang tokoh sufi.


Gus Dur pun mengatakan bahwa syair itu adalah karya Abu Nawas, Syair ini dikarang oleh seorang ulama sufi besar di kotaBaghdad pada pertengahan abad ke delapan yang silam. Ia Bernama Abu Nawas atau Abu Nuwas.Tidak jelas dari mana sumbernya cerita dan kesufian Abu Nawas itu. Sebab dalam literatur sejarah Islam, Abu Nawas justru lebih dikenal sebagai tokoh sastra daripada seorang pelawak. Dan sekedar diketahui, ternyata petualangan Abu Nawas bukan dengan Harun al-Rasyid melainkan dengan khalifah setelahnya, Al-Amin, putra Harun. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Abu Nawas tidak pernah bertatap muka dengan Harun al-Rasyid. Para sejarawan hanya mengenalnya sebagai tokoh sastra. Banyak ulama yang menempatkan Abu Nawas sebagai sastrawan Islam nomor wahid di dunia Islam mengalahkan Furazdaq, bahkan Jalaluddin al-Rumi (?).Ibnu Arabi mengatakan, aku telah bandingkan syair Abu Nawas dengan yang lain, ternyata tidak aku temukan syair seindah miliknya. Tokoh hadits, sejarah dan sastra terkenal di Bashrah bernama Ubaidullah bin Muhammad mengatakan, barang siapa yang belajar sastra tetapi tidak meriwayatkan syair Abu Nawas, maka dia tidak akan sempurna sastranya. Kultsum al-Uttabi juga mengatakan, andaikan Abu Nawas hidup sejak masa Jahiliyah, niscaya tidak seorang pun yang bisa mengalahkannya. Imam al-Utbi mengatakan, al-Jahiz berkomentar, tidak aku temukan orang yang alim dalam ilmu bahasa dan lebih fasih lahjahnya dari mengalahkan Abu Nawas. Dan masih banyak komentar ulama yang senada dengan di atas.Sayang, keahliannya dalam bersastra terkontaminasi oleh kebiasaannya yang mujun. Hampir semua kitab sejarahmenyebutkan hal yang sama: Abu Nawas adalah sastrawan cabul: gemar minuman keras, berbicara kotor dan puisi-puisinya banyak mengkritik hadits dan ayat al-Qur'an yang melarang minum Khomer. Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu. Puisi dan cerita mujun-nya bisa dilihat dalam kitab-kitab sejarah seperti, Tarikh al-Islam (juz 10/161) karya sejarawan handal Adz-Dzahabi, Tarikh Baghdad (juz 7/ 436) karya Khatib al-Baghdadi, Tahdzib ibn Asakir juz 4 (biografi Abu Nawas), Wafayat al-A'yan karya Ibnu Khalkan, Masalik al-Abshar (jilid 9), Syudzurat al-Dzahab (juz 1/345) atau kitab Mulhaq al-Aghani juz 25 karya Abu al-Faraj al-Ashbihani yang khusus menerangkan biografi Abu Nawas.Di samping peminum minuman keras, Abu Nawas ternyata juga seorang homosex, hal yang terasa asing ditelinga kita. Seorang tokoh Timur Tengah menulis sebuah disertasi mengenai hal ini. Dalam disertasinya yang berjudul al-Syudzudz al-Jinsiyah (kelainan seksual), beliau mengupas habis kepribadian Abu Nawas terutama tentang kelainan seksualnya. Karena itulah, selama hidupnya ia tidak pernah menyukai orang perempuan.Dalam Mulhaq al-Aqhani juz 25 disebutkan bahwa Abu Nawas pernah dikawinkan secara paksa oleh orang tuanya dengan salah satu wanita yang masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu ditalaknya karena Abu Nawas tidak mencintainya. Ia pernah mencintai seorang perempuan bernama Jinan. Sayang, cintanya tak sampai. Kecabulannnya inilah yang membuat Abu Nawas nyaris tidak mendapatkan simpati dari tokoh-tokoh Islam. Salah satu bukti, dalam kitab-kitab balaghah sangat jarang dijumpai pengarangnya menggunakan contoh dari syair-syairnya. Kehebatan sastranya tenggelam di telan kefasikannya. Orang sebesar Imam Syafi pun mengakui kehebatan sastranya. Beliau mengatakan, seandainya Abu Nawas tidak mujun, niscaya aku akan belajar sastra kepadanya Para pengamat sastra menyimpulkan, ada tiga generasi dalam sastra Arab. Di masa Jahiliyah, hanya ada seorang penyair yang tak tertandingi yaitu Imru'ul Qois, dan pada masa awal perkembangan Islam ada nama Jarir dan Furazdaq, musuh al-Hajjaj. Sedang di abad terakhir hanya nama Abu Nawas yang terhebat. Dus, belum ditemukan keterangan bahwa Syair 'Ilahi lastulil itu adalah karya Abu Nawas. Dalam sebuah kitab justru disebutkan bahwa syair itu adalah karya Syekh al-Sya'roni, bukan milik Abu Nawas. Begitu pula dengan cerita-cerita lucunya, tidak ditemukan dalam literatur sejarah.Apakah ia seorang wali? Kita tidak bisa menjawabnya. Walaupun ada sebagian ulama berpendapat bahwa Abu Nawas termasuk zindiq, atau minimal fasiq. Namu pada detik-detik akhir kehidupannya, Abu Nawas berubah total. Khamer yang menjadi trade mark nya sejak ia menginjak dewasa dibuang jauh-jauh. Ia tidak lagi menggubah puisi-puisi mujun. Lembaran-lembaran syairnya dibakar habis. Aku takut setalah aku mati nanti masih tersisa satu dari syairku. Karena itu aku membakarnya, kata Abu Nawas ketika ditanya oleh salah seorang temannya. Kehidupan zuhudnya di masa injury time itu terangkum dalam beberapa syairnya yang kemudian dikenal dengan isltilah zuhdiyat.Dari salah satu syair zuhdiyatnya ini, ada empat bait syair yang mirip dengan syair yang biasa kita dengar itu (Ilahi lastulil).Konon, setalah meninggal, salah seorang temannya mimpi bertemu dengan Abu Nawas dengan wajah yang sangat tampan dan pakaian yang serba bagus.Apa yang kamu terima dari Allah?,tanya si teman.Allah mengampuni segala dosaku, jawab Abu Nawas.Mengapa?Karena puisi-puisiku yang aku gubah sebelum aku mati.Alhasil, dari manakah sumber cerita yang sering kita dengar itu? Jawabnya, mungkin Abu Nawas ada dua: yang satu ada di kota Baghdad, Iraq. Sedang satunya ada di Indonesia. Dan yang kita dengar cerita itu adalah Abu Nawas yang hidup di Indonesia. (Zubaydi Ilyas R/Sidogiri)


keyword: CONTOH SYAIR SEJARAH, biografi abu nawas, facebook, contoh syair terkenal, syair sejarah, karya abu nawas, syair riwayat nabi, teks syair abu nawas, syair abu nawas arab, syair arab abu nawas, abu nawas biografi, syair ulama sufi, syair ulama, lirik syair abu nawas bahasa arab, syair syair ulama sufi, kumpulan syair abu nawas, kisah ulama sufi, syair abu nawas bahasa indonesia, lirik syair abu nawas, syair tokoh islam, karya terkenal abu nawas, syair para ulama sufi, biografi karya-karya dan contoh syairnya abu nawas,biografi ulama abu nuwas, ringkasan cerita abu nawas dan raja harun, ulama sufi di indonesia, ulama sufi indonesia, sholawat abu nawas syair arab, syair cinta arab teks image, syair islam para sufi

Abu Nuwas Wikipedia The Free Encyclopedia

Minggu, 11 November 2012

sayapku yang patah

aku kehilangan sayapku,,,yang selama ini membuatku terbang,,,namun aku tak pernah merasakan kalo aku ini sebenarnya mempunyai sayap yang begitu kuat yang dapat membuatku terbang tinggi hingga ke angkasa..terkadang aku tidak memahami apa arti sebuah keikhlasan yang sering disebut2 oleh kebanyakan manusia ketika kehilangan seseorang yang sangat dicintainya,,,,aku tak paham akan sebuah keikhlasan,,,,ikhlaskan saja ma!!!!kata2 ini terdengar begitu rame hingga menusuk kedalam sanubariku,,,namun mereka tidak pernah merasakan keikhlasan yang seutuhnya,,,kata2 itu muncul hanya digunakan sebagai alat untuk penenang namun tidak akan perah bisa menenangkan dirimu,,,,ya tuhan,,,,,,,toloong berikan aku pengganti seperti beliau...yang selalu menegarkanku ketika aku terjatuh dengan ketegasannya,,,,,yang selalu memarahiku utuk sebuah kebaikan,,,aku tak paham itu dulu,,,kenapa usia ini membatasi pikiranku untuk menembus sekat yang seharusnya itu dimiliki oleh setiap orng................

Sabtu, 10 November 2012

KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG Oleh : Emha Ainun Najib



Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan Al-Fatihah dan surah

Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi

Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup

Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri

Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya

Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah

Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
 
1987

IKRAR Oleh : Emha Ainun Najib


Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia

Menangis dalam tertawa

Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu

Kesadaran yang lebih tinggi

Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan

Kugenggam kamu

Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997

DOA SEHELAI DAUN KERING



Janganku suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir

Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maíshum dan aku bergelimang hawaí
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaan-Mu

Emha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999



DITANYAKAN KEPADANYA Oleh : Emha Ainun Najib



Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah  berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia

Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
 
1988

DARI BENTANGAN LANGIT Oleh : Emha Ainun Najib



Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997

BEGITU ENGKAU BERSUJUD Oleh : Emha Ainun Najib



Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang

yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki alam makrifat

Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika

bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan

Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid

Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai Allah, engkaulah ayatullah

Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,

karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
 
1987

ANTARA TIGA KOTA Oleh : Emha Ainun Najib



di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk

kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu

kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga

surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya

kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997

Senin, 05 November 2012

makna lagu lir ilir sunan



Lir-ilir, Lir Ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah Angon, Cah Angon
Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo Mbasuh Dodotiro
Dodotiro Dodotiro
Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono, Jlumatono
Kanggo Sebo Mengko sore
Mumpung Padhang Rembulane
Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako surak Iyo!!!
Tembang diatas pasti sudah akrab ditelinga kita
apalagi bagi orang-orang jawa yang notabene berada dalam wilayah penyebaran agama Wali Songo
tidak sedikit orang yang mencoba untuk menguraikan makna tembang diatas baik dalam konteks hubungannya dengan sejarah, syariat Islam bahkan Hakikat yang terkandung di dalamnya.
pada tulisan singkat ini Khaylif mencoba untuk sedikit menguraikan makna dari tembang tersebut, jika ada kekurangan atau kesalahan adalah karena keterbatasan Khaylif dalam pemahaman semoga Alloh memaafkan dan jika ada kebaikannya hal itu semata-mata datang dari Alloh SWT
Makna tembang tersebut menurut Khaylif:
1.  Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Makna: Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.
2   Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Makna: Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya?
Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya.
Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.
3.  Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
Makna: Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.
4.  Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)
Makna: Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas (no 1-3) ketika kita masih sehat (dialambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!!
Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.
Apakah makna mendalam dari tembang ini? Mari kita coba mengupas maknanya
Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)
* Diambil dari berbagai sumber. Mohon dikoreksi jika ada kesalahan, karena saya juga manusia yang tak pernah lepas dari salah dan dosa.

doa yusuf mansur

Ya Allah
Jika langkah kaki ini lebih banyak keburukan dari pada menuju kebaikan, jika lisan ini lebih banyak mengucapkan keburukan dari pada kebaikan, jika telinga ini lebih banyak mendengarkan keburukan dari pada kebaikan, jika mata ini lebih banyak melihat keburukan dari pada kebaikan dan jikapikiran ini lebih banyak berfikir keburukan dari pada kebaikan, hamba mohon ampunanMu ya Rabb.

Ya Allah
Ampunilah kesalahan-kesalahanku yang besar maupun yang kecil, yang berat maupun yang ringan, yang sengaja maupun yang tidak dan yang tampak maupun yang tersembunyi.


Ya Allah
Bimbinglah diriku selalu agar mampu berjalan sesuai syariatMu. jika diriku telah atau sedang berjalan menjauh dariMu, mohon bimbinglah agar mampu berjalan kembali kepadaMu ya Rabb.

Ya Allah
Ampunilah kesalahan-kesalahan orangtuaku, anak istriku, saudaraku dan para jamaah yang membaca tulisan ini.

Ya Allah
Kabulkan doa-doa kami, keluarga kami, saudara kami, sahabat kami dan para jama.ah yang membaca tulisan ini.

Aamiin.

-------
(spirit wisata hati dan chatting dengan ym)

Kamis, 01 November 2012

harga diri di'atas' lisan

mudah-mudahan ALLAH yang maha menguasai segala2nya selalu membukakan hati kita agar selalu melihat hikmah dibalik setiap kejadian, yakinlah tidak  ada satu kejadian pun yang sia-sia, tidak ada suatu kejadian pun yang tanpa makna. sangat rugi kalau kita mneghadapi hidup ini sampai tidak mendapat pelajaran  dari apa yang sedang kita jalani. hidup ini adalah samudra hikmah tiada terputus. seharusnya apapun yang kita hadapi, efektif bisa menambah ilmu, wawasan, khususnya lagi bisa menambah  kematangan, kedewasaan, kearifan diri sehingga kalau kita mati, maka warisan terbesar kita adalah kehormatan pribadi, bukan hanya harta semata. rindukn dan selalu berharap bahwa saat kepulangan kita nanti adalah saat yang paling indah.harusnya saat malaikat maut menjemput, kita benar2 dalam keadaan siap. khusnul khotimah harus sering dibayangkan kalau sedang meninggal nanti kita sedang bagus niat, sedang bersih hati, keringat sedang bercucuran dijalan ALLAH. sukur2 nantii kalau kita meninggal kita sedang sujud atau sedang berjuang dijalan ALLAH. jangan sampai kita mati sia-sia, seperti yang diberitakan dikoran mati sedang nonton dibioskop, apalagi yang sedang ditontonnya film "maaf"" gairah membara, film mksiat, naudzubillah, dia akan membara betulan di neraka nanti. ingat maut adalah hal yang sangat penting. tiaad kehormatan dan kemuliaan kecuali dari engkau ya ALLAH pemilik alam semesta yang mengangkat derajat siapapun yang engkau kehendaki dan menghinakan siapapun yang engkau kehendaki, segala puji hanya lah bagiMU dan milikMU SHOLAWAT senantiasa terlimpah bagi kekasih ALLAH, panutan kita semua, rosulullah. saw.
saudara percayalah, sehebat apapun harta, jabatan, gelar, pangkat atau apapun atribut duniawi lainnya yang kita sandang tak kan pernah berharga kalau kita tak memiliki harga diri, hidup didunia hanya satu kali dan hanya sebentar saja, kita harus sungguh sungguh meniti karier kehidupan kita ini menjadi orang yang punya harga diri dan terhormat dalam pandangan ALLAH DAN TERHORMAT DALAM PANDANGAN ORANG YANG BERIMAN.dan kematian kita pun harus kita rindukan menjadi sebaik-baiknya kematian yang penuh kehormatan dn kemuliaan dengan warisan yang terpenting adalah nama baik dan kehormatan kita yang tanpa cela,dan kehinaan. langkah awal yang harus kita bangun dalam karier kehidupan ini adalah tekad untuk menjadi seorang muslim yang jujur dan terpercaya samapai mati. seperti rosulullah saw memulali karieer kehidupannyya dengan gelar al-amin (seorang yang sangat dipercaya). kita harus berjuan mti-matian untuk menjaga diri dan kehormatan kita untuk menjadi seorang muslim yang terpercaya, sehingga tidak ada keraguan bagi siapapun yang bergaul dengan kita, baik muslim maupun non muslim, baik kawan atau lawan, tidak boleh ada keraguan baik dalam ucapan, janji maupun amanah yanng kita pikul. oleh karena itu pertama jaga lisan, jangan pernah berbohong dalam hal apapun, sekecil dan sesederhana apapun, bahkan terhadap anak kecil atau dalam senda gurau sekalipun, harus benar-benar bersih dan meyakinkan. tidk ada dusta, pastikan tidak pernah ada dusta,!!!!!!!!lebih baik kita disisihkan karena kita tampil apa adanya daripada kita diterima karena berdusta. sungguh tidak akan terhormat menjadi seorang pendusta. (tentu dengan tidak membeberkan aib-aib yang telah ditutupi ALLAH ada kekuasaan tersendiri ada kehususan tersendiri, jujur bukan berarti bebas membeberkan aib sendiri).
kedua jaga lisan, jangan pernah menambah-nambah, mereka-reka, mendramatisir berita, informasi, atau sebliknya meniadakan apa yang seharusnya disampaikan. sampaikanlah berita atau informasi yang mesti disampaikan seakurat mungkin sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kita terkadang suka ingin menambah-nambah sesuatu atau bahkan merekayasa kata-kata atau cerita, jangan dilakukan!!!sama sekali tidak akan menolong kita, nanti ketika orang  tau informasi yang sebenernya, akan runtuhlah kepercayaan mereka terhadap kita. ketiga jangan sok tahu atau sok pintar dengan menjawab setiap dan egala pertanyaan. nah, orang yang selalu menjawab pertanyaan bila tanpa ilmu akan menunjukkan kebodohan saja. yakinlah kalau kita sok yahu tanpa ilmu itulah tanda kebodohan kita, yang lebih baik adalah kita berani mengatakan tidak tahu kalau memang kita tidaak mengetahuinya, atau lebih baik disebut, bodoh karena jujur apa adanya, daripada kita berdusta dalam pandangan ALLAH.
keempat, jangan pernah membocorkan rahasia atau amanat, terlebih lagi membeberkan aib orang lain.jangan sekali-kali melakukannya.....ingat setiap kali kira ngobrol dengan orang lain, maka obrolan itu jadi amanah buat kita, bagi orang yang suka membeberkan aib orang lain akan jatuhlh harga dirinya, padahal justru kita seharusnya kita menjadi kuburan bagi rahasia dan aib orang lain. yang namanya kuburan tidak usaah digali-gali lagi kecuali pembenaran yang sah menurut syariah dan membawa kebaikan bagi semua pihak. ingat bila ada seseorang datang aib dan kejelekan orang lain pada kita, maka jangan pernah percayai dia, karen ketika berpisah dengan kita maka dia pun akan menceritakan aib dan kejelekan kita pada orang lagi.
kelima, jangan pernah mengingkari janji dan jangan pernah mengobral janji,pastikan semua janji tecatat dengan baik dan selalu da saksi untuk mengingatkan dan berjuanglah sekuat tenaga dan semaksimal mungkin untuk menepati janji wlaupun dengan pengorbanan lahir batin yang sangat berat dan besar. ingat semuua pengorbanan aalah kecil dibandingkan dengan kehilangan harga diri sebagai seorang pengingkar janji, seorang munafiq, naudzubillah, tidak ada artinya, semua pengorbanan itu kecil dibanding kita bernama si pengingkar janji, rosulullah sampai tiga hari menunggu orang yang menjanjikannya untuk ketemu, beliau menunggu karena kehormatan bagi beliau untuk menepati janji. luar biasa dikau wahai kekasihku....!!!!

Rabu, 31 Oktober 2012

MAKANAN




MAKANAN atau tha'am dalam bahasa Alquran adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun termasuk dalam pengertian tha'am. Alquran surat Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan) untuk objek berkaitan dengan air minum. Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Alquran sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya. Perhatian Alquran terhadap makanan sedemikian besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i, "Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Alquran bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)." Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Alquran menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran beribadah kepada Allah. Begitu antara lain kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106):3-4,

"Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan."

PERINTAH MAKAN

Menarik untuk disimak bahwa bahasa Alquran menggunakan kata akala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas "makan". Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata dalam arti "memasukkan sesuatu ke tenggorokan", tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya surat Al-Nisa' [14]:4:
 “Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin tersebut. Firman Allah dalam surat Al-An'am (6:121),
 “Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya).” Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar, sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan. Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas, kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang Mukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan kata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat  yang memerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima di antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Dua dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks memakan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.

Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya, baik ketika  berbuka puasa maupun selainnya, dapat mengantar sang Mukmin mengingat pesan-pesan-Nya.

APA YANG HALAL DIMAKAN?

Alquran menyatakan,
 “Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah [2]:29).
 “Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13). Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut dan beberapa ayat lain, para ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat di dalamnya juga adalah halal. Karena itu Alquran bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia. Katakanlah,
"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS.  Yunus [10]:59).

Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah, baik melalui Alquran maupun Rasul, sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas dasar ini, turun perintah-Nya antara lain dalam surat Al-Baqarah (2):168,

“Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayat-ayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi Saw. Makanan yang diuraikan oleh Alquran dapat dibagi dalam tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.

1. Tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu. Surat 'Abasa yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya menyebutkan sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.
 “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu.” (QS. 'Abasa [80]:24-32). Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.

2. Adapun makanan jenis hewani, maka Alquran membaginya dalam dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat. Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Alquran surat Al-Nahl (16):14 menegaskan:
 “Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya).” Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Maidah [5]:96:
 “Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.” "Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Sedang kata "makanan yang berasal dari laut" adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan tentang laut: “Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya.” Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah (5):96.
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Alquran, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. Adapun hewan yang hidup di darat, maka Alquran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram. Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu. Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6):145,
 “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah...”

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2):173. Imam Syafi'i, misalnya, berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor). Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul Saw sebagai penjelas kitab suci Alquran. Surat Al-A'raf (7):157 melukiskan Nabi Muhammad Saw antara lain sebagai: “Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).”

Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya. Di samping itu, Alquran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:
 “Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An'am [6]:121). [Edisi Mei '10].

AHL AL-KITAB





BERBICARA mengenai wawasan Alquran tentang suatu masalah tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang berbicara menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan tujuan pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis dilakukan terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah, asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi (Sunah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh pakar-pakar Alquran dengan istilah pendekatan "tematis" (maudhu'i). Bahasan ini mencoba menerapkan metode  tersebut, walaupun dalam bentuk yang terbatas, karena penerapannya secara sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar berkompeten dalam bidang Alquran.

ISTILAH-ISTILAH ALQURAN

Salah satu keistimewaan Alquran adalah ketelitian redaksinya. Tidak  heran, karena redaksi tersebut bersumber langsung dari Allah Swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab. Selain istilah Ahl Al-Kitab, Alquran juga menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud, Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah lainnya. Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Alquran sebanyak tiga puluh satu  kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali, Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat  belas  kali, dan Bani Israil empat puluh satu kali. Kesan umum diperoleh bahwa bila Alquran menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS. Al-Maidah [5]:82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS. Al-Baqarah [2]:120), atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah
 (QS. Al-Maidah [5]:18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS. Al-Maidah [5]: 64),
dan sebagainya.

Bila Alquran menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan menguranginya (QS. Al-Nisa’ [41]:46), atau bahwa mereka tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS. Al-Maidah [5]:41), dan ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk tidak  akan  mengalami  rasa  takut  atau sedih (QS. Al-Baqarah [2]:62).
Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian, misalnya surat Al-Maidah [5]:82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah [2]:120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti dalam surat Al-Hajj [22];17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Alquran menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu. Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]:120 yang berbunyi
"Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut pakar-pakar bahasa Alquran, antara lain Az-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat dari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab), maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti, menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju. Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini adalah menjelaskan: "Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga (di samping kekufuran itu)  berkeinginan agar diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh) persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."

Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau mengikuti agama mereka) adalah: Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul) mengikuti  agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):
"Hingga masuk ke  lubang jarum" (QS. Al-A'raf [7]:40) dan (firman-Nya), "Aku tidak akan  menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS.  Al-Kafirun [109]:2-3).

Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan menunjukkan bahwa setelah  turunnya ayat ini ada di antara Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]:10: "Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman." Yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam. Arti surat Al-Baqarah [2]:120 di atas perlu ditegaskan, karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah, bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain, seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya surat Al-Baqarah [2]:120 di atas berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam karyanya Ashab Al-Nuzul.

Penafian Alquran terhadap An-Nashara, tidak setegas penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan kata "lan" untuk orang Yahudi. Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Alquran tentang mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka, positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh kaum Muslim terhadap mereka.

SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB

Alquran banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara tentang keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat An-Nisa’ [4]:171 dan Al-Maidah [5]:77 mengisyaratkan bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.
"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu, dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" (QS. Al-Nisa’ [4]:171). Mereka juga dinilai oleh Alquran sebagai telah mengkufuri ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabian Muhammad Saw).

"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?" (QS. Ali Imran [3]:70-71).

Nabi Muhammad Saw diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada mereka: Katakanlah:
"Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?" (QS. Al-Maidah [5]:59). Bahkan Allah Swt secara langsung dan berkali-kali mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat menyimpan rahasia.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al-Ma-idah [5]: 51).

Dalam QS. Ali Imran [3]:118 kaum Muslim diingatkan untuk tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan alasan bahwaa
"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS. Ali Imran [3]:118). Terhadap merekalah Nabi Saw bersabda, "Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran." (HR Muslim melalui Abu Hurairah). Sahabat dan pembantu Nabi Saw, Anas bin Malik, berkata bahwa Nabi Saw bersabda, "Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah, Wa 'alaikum." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama  sepakat dalam hal ini. Alquran juga menyatakan bahwa, "Apabila mereka condong kepada salam (perdamaian), maka condong pulalah kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfal [8]:61). Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab siapa pun mereka,  walau Yahudi, tetap dituntut oleh Alquran. Ulama-ulama Alquran menguraikan bahwa Nabi Saw pernah cenderung mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak bersalah, karena bersangka baik terhadap keluarga kaum Muslim yang menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur oleh Allah dengan menurunkan surat An-Nisa’ [4]:105.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya engkau  mengadili antar manusia dengan apa yang Allah  wahyukan kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat."

APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?

Di atas telah dipaparkan sebagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah ayat-ayat di atas berlaku umum, menyangkut semua Ahl Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?" Penggalan terakhir surat Al-Ma-idah [5]:59 di atas menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab), perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini. Hemat penulis, penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa tidak semua mereka bersikap demikian. Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling tidak dalam dua ayat berikut:

"Banyak dari Ahl Al-Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati mereka setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah  Mahakuasa  atas  segala  sesuatu." (QS. Al-Baqarah [2]:109).

Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir yang seharusnya diterjemahkan banyak, bukan kebanyakan sebagaimana dalam Alquran dan Terjemahannya oleh Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:
"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadarinya." (QS. Ali Imran [3]:69). Kalau melihat redaksi ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka tidak semua mereka bersikap sama. Sejalan dengan ini, ada peringatan yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sekelompok dari Ahl Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu beriman." (QS. Ali Imran [3]:100). Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan Alquran yang menyatakan bahwa,
"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud." (QS. Ali Imran [3]:113) .

Sebelumnya dalam surat yang sama Alquran juga memberikan informasi,
"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan di antara mereka ada juga yang jika kamu percayakan kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya). Yang demikian itu karena mereka  berkata  (berkeyakinan) bahwa tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah padahal mereka mengetahui." (QS. Ali Imran [3]:75). Demikian juga ketika Alquran mengungkap isi hati sebagian Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:
"Permusuhan antar sesama mereka sangatlah hebat. Kamu menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah  belah." (QS. Al-Hasyr [59]:14).

BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB

Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena itu sikap yang diajarkan Alquran terhadap mereka pun berbeda, sesuai dengan sikap mereka. Dalam sekian banyak ayat yang menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat, walaupun di sana-sini Alquran mengakui adanya perbedaan dalam keyakinan. Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Janganlah kamu berdebat dengan Ahl Al-Kitab, melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap orang-orang yang zalim di antara mereka." (QS. Al-Ankabut [29]:46). Dalam beberapa kitab tafsir, seperti juga pada catatan kaki Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di atas adalah mereka yang setelah diberi penjelasan dengan baik, masih tetap membantah, membangkang, dan menyatakan permusuhan.

Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat Sawa' (kata sepakat), dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum Muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini Alquran memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), 'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)." (QS. Ali Imran [3]:64).

Sekali lagi penulis katakan "sebagian mereka," karena Alquran juga menggarisbawahi bahwa:
"Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada orang  yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah,  dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya" (QS. Ali Imran [3]:199). Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer di antara mereka adalah Abdullah bin Salam. Al-Qurthubi dalam tafsirnya  meriwayatkan bahwa ketika turun firman Allah:
"Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad Saw) sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka." (QS. Al-Baqarah [2]:146). Umar Ra bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu?" Abdullah  menjawab, "Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang anakku) aku tidak tahu apa yang telah dilakukan ibunya."

AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA ALQURAN

Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Alquran perlu kiranya kita menoleh ke sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. Sepuluh tahun lamanya beliau melaksanakan misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota Makkah sendiri penganut agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada. Musuh pertama dan utama ketika itu adalah orang-orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Alquran sebagai al-musyrikun. Penindasan kaum musyrik di Makkah terhadap kaum Muslim, memaksa sebagian kaum Muslim melakukan hijrah pertama ke Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik oleh Negus, penguasa yang beragama Nasrani.

Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi yang memiliki kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling bermusuhan dan berperang. Tidak jarang pula terjadi perselisihan dan permusuhan antara mereka dengan orang Yahudi. Pertempuran dan perselisihan itu melelahkan semua pihak; sayang tidak ada di antara mereka yang memiliki wibawa yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai ini. Orang-orang Yahudi sering  mengemukakan kepada Aus dan Khazraj, bahwa akan datang seorang Nabi (dari kelompok mereka), dan bila ia datang pastilah kaum Yahudi akan mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini Alquran menyatakan, menyangkut orang Yahudi, bahwa,
"Setelah  datang  kepada  mereka  Alquran dan Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (demi kedatangan Nabi yang dijanjikan) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar itu." (QS. Al-Baqarah [2]:89). Yang dimaksud dengan "membenarkan apa yang ada pada mereka" adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal ini Nabi Muhammad Saw. Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka biasa memohon" adalah  bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan Arab Gathfan, tetapi mereka dikalahkan, maka  ketika  itu orang-orang Yahudi  berdoa, "Kami  bermohon kepada-Mu demi Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami di akhir  zaman,  menangkanlah  kami  atas mereka" sehingga mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.

Alquran juga menginformasikan bahwa keengganan mereka beriman disebabkan oleh karena "kedengkian dan iri hati mereka." (QS. Al-Baqarah [2]:109). Tadinya mereka menduga bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari golongan Arab yang merupakan seteru mereka. Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani hampir tidak ada di kota Makkah. Itu pula sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim utusan ke Madinah untuk memperoleh "pertanyaan berat" yang dapat diajukan kepada Nabi Muhammad dalam rangka pembuktian kenabiannya. Ketika itu orang-orang Yahudi Madinah menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa itulah yang melatar belakangi turunnya firman Allah: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit." (QS. Al-Isra' [17]:85). Kehadiran Nabi Muhammad Saw ke Madinah, disambut baik oleh Aus dan Khazraj bukan saja sebagai pemersatu mereka yang selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan perdamaian, tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah utusan Allah, yang sebelumnya telah mereka ketahui kehadirannya melalui orang-orang Yahudi. Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun mereka juga disebut oleh Alquran sebagai Ahl Al-Kitab.

Kembali kepada persoalan di atas, ditemukan bahwa ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena Alquran secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam sifat dan sikapnya terhadap Islam dan kaum Muslim (QS. Ali Imran [3]:113). Itu pula sebabnya, dalam hal-hal yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Alquran tidak jarang  memberi penjelasan tambahan yang berkaitan dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya. Perhatikan misalnya ayat yang berbicara tentang kebolehan kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana ditambahkan kata wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara kehormatannya), sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan mereka, Alquran mengemukakannya tanpa penjelasan atau syarat.

MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?

Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan kepada orang Yahudi, bukan kepada orang Nasrani. Ini disebabkan karena sejak semula ada  perbedaan sikap di antara kedua kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas). Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih, dan Alquran turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi akan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:
"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah  orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Rum [30]:1-5).

Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim. Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan perlindungan yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama Nasrani kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar jika secara tegas Alquran menyatakan:
*ÇÑËÈ
"Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini orang Nasrani" (QS. Al-Maidah [5]:82). Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasal dari golongan mereka (QS. Al-Baqarah [2]:109). Kehadiran Nabi kemudian mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di kalangan masyarakat Madinah menciut, dan bahkan menghilangkan pengaruh politik dan  kepentingan  ekonomi mereka.

Di sisi lain, seperti pernyataan Alquran di atas, sebab kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:"Karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri." (QS. Al-Maidah [5]:82). Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran moral yang bersumber dari ajaran Isa As, sedang para rahib yang mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi pada ibadah), berhasil pula memberi contoh kepada lingkungannya. Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya kekuatan sosial politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah, sehingga tidak ada faktor yang mengundang gesekan dan benturan antara kaum Muslim dengan mereka. Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok, memakan riba, dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualistis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya benturan,  bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau golongan, kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus diakui bahwa kepentingan tersebut dapat dikemas dengan kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami. Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya' (pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus dipahami dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran [3]:118:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati  mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."

Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi Saw, sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya: "Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim." Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat tajam pandangan beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, yang menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak. Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu dengan hadis Nabi Saw yang menyatakan, "(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya." Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu. Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.

Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal, sedangkan  para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha berkomentar: "Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya (Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit pengetahuan hadis, dan keduanya  pun tidak banyak merujuk kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui kompetensinya).{1}"

Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam Alquran:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi." (QS. Ali Imran [3]:118). Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul, sehingga ia hanya berlaku terhadap orang yang cirinya demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan seorang Muslim. "Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi. Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah Swt yang menurunkan mengetahui perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi." {2}

Dari sini dapat ditegaskan bahwa Alquran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih-lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan Alquran sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]:8 yang dikemukakan oleh Ibn Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Alquran.{3} Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi sendiri ditegur oleh Alquran karena enggan memberi bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu jua." {4}

Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh Alquran memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain berdasarkan surat Al-Hajj [22]:40. "Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa." Dari prinsip yang sama Alquran membenarkan kaum Muslim memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya.

SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?

Di atas telah dikemukakan bahwa para ulama sepakat menyatakan  bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian, serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Alquran ketika mereka menafsirkan surat Al-Maidah [5]:5, yang menguraikan tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya. Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama  tentang  cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}

Imam Syafi'i, memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu). Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab. Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian,  bila ada satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud As) saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi). Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati makanan sembelihan orang-orang  Majusi, dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.{6} Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha {7} yang menurutnya bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hukum mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka). Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagaõ berikut: "Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang."{8}

Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa: "Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar."{9} Penulis cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan Alquran terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam Alquran,
"(Kami turunkan Alquran ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS. Al-An'am [6]:156).

Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun  tidak termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab. Ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: "tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga  mengawini wanita mereka." Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku  pula terhadap mereka.

Sebagian lainnya menilai hadis tersebut berstatus mursal yakni sahabat Nabi yang mendengar atau menerima hadis tersebut dari beliau tidak disebut dalam rentetan transmisi riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan argumentasi keagamaan. Sahabat Nabi Abdullah bin Umar mempunyai pendapat lain. Beliau secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Ia mengatakan, "Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah." Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman, Ibnu Abbas, Thalhah, Jabir, dan  Khuzaifah, demikian pula para pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:

1  Dalam sekian banyak ayat, Alquran menyebut istilah al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab, dengan menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."

"Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu." (QS. Al-Baqarah [2]:105). Kata penghubung semacam ini mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian juga terlihat pada QS. Al-Bayyinah [98]:1 dan 6. Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam Alquran adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah.

2. Alquran sendiri telah menguraikan sekian banyak keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau bahwa Uzair demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas, Alquran membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun. Alquran seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar. Atas dasar itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi'in, ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.

Penulis dapat memahami pendapat tersebut dengan memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi dalam segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang telah dianugerahkan Alquran. Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah  dapat  terjalin apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam. Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati, untuk dibubarkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Sikap Alquran terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab serta penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.

2. Kecaman yang terdapat dalam Alquran, lebih banyak tertuju kepada orang Yahudi, dan kecaman tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.

3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.

4. Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari, istimewa menyangkut perkawinan dan memakan binatang halal hasil sembelihan mereka, diperselisihkan oleh para ulama. Dengan kata lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah diuraikan di atas, dan dalam saat yang sama sikap kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat dinilai sebagai sikap terpuji.

Demikian sekelumit uraian Alquran tentang Ahl Al-Kitab. [Edisi April '10].

Catatan kaki:
  
{1} Baca lebih jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
    Thn. VIII, No. 86.

{6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
    QS. Al-Maidah [5]: 5.
{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.
{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.
{9} Mabahis At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.