Rabu, 31 Oktober 2012

MAKANAN




MAKANAN atau tha'am dalam bahasa Alquran adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun termasuk dalam pengertian tha'am. Alquran surat Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan) untuk objek berkaitan dengan air minum. Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Alquran sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya. Perhatian Alquran terhadap makanan sedemikian besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i, "Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Alquran bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)." Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Alquran menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran beribadah kepada Allah. Begitu antara lain kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106):3-4,

"Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan."

PERINTAH MAKAN

Menarik untuk disimak bahwa bahasa Alquran menggunakan kata akala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas "makan". Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata dalam arti "memasukkan sesuatu ke tenggorokan", tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya surat Al-Nisa' [14]:4:
 “Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin tersebut. Firman Allah dalam surat Al-An'am (6:121),
 “Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya).” Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar, sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan. Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas, kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang Mukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan kata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat  yang memerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima di antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Dua dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks memakan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.

Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya, baik ketika  berbuka puasa maupun selainnya, dapat mengantar sang Mukmin mengingat pesan-pesan-Nya.

APA YANG HALAL DIMAKAN?

Alquran menyatakan,
 “Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah [2]:29).
 “Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13). Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut dan beberapa ayat lain, para ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat di dalamnya juga adalah halal. Karena itu Alquran bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia. Katakanlah,
"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS.  Yunus [10]:59).

Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah, baik melalui Alquran maupun Rasul, sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas dasar ini, turun perintah-Nya antara lain dalam surat Al-Baqarah (2):168,

“Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayat-ayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi Saw. Makanan yang diuraikan oleh Alquran dapat dibagi dalam tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.

1. Tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu. Surat 'Abasa yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya menyebutkan sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.
 “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu.” (QS. 'Abasa [80]:24-32). Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.

2. Adapun makanan jenis hewani, maka Alquran membaginya dalam dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat. Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Alquran surat Al-Nahl (16):14 menegaskan:
 “Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya).” Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Maidah [5]:96:
 “Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.” "Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Sedang kata "makanan yang berasal dari laut" adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan tentang laut: “Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya.” Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah (5):96.
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Alquran, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. Adapun hewan yang hidup di darat, maka Alquran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram. Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu. Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6):145,
 “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah...”

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2):173. Imam Syafi'i, misalnya, berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor). Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul Saw sebagai penjelas kitab suci Alquran. Surat Al-A'raf (7):157 melukiskan Nabi Muhammad Saw antara lain sebagai: “Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).”

Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya. Di samping itu, Alquran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:
 “Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An'am [6]:121). [Edisi Mei '10].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar