BERBICARA mengenai wawasan Alquran tentang suatu masalah tidak akan
sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika pandangan hanya tertuju kepada satu
dua ayat yang berbicara menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan
melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan tujuan pemahaman
wawasan, lebih-lebih bila analisis dilakukan terlepas dari konteks (munasabah)
ayat, sejarah, asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi
(Sunah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh pakar-pakar Alquran dengan istilah
pendekatan "tematis" (maudhu'i). Bahasan ini mencoba menerapkan
metode tersebut, walaupun dalam bentuk
yang terbatas, karena penerapannya secara sempurna membutuhkan waktu yang tidak
singkat, rujukan yang memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun
demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk ditutupi dengan
menyajikan pandangan beberapa pakar berkompeten dalam bidang Alquran.
ISTILAH-ISTILAH ALQURAN
Salah satu keistimewaan Alquran adalah ketelitian redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut bersumber
langsung dari Allah Swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan saja karena sekian
banyak ulama melakukan analisis kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak
satu pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan beberapa istilah
yang berbeda ketika menunjuk kepada orang Yahudi dan Nasrani, dua kelompok
masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab.
Selain istilah Ahl Al-Kitab, Alquran juga menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu
nashiban minal kitab, Al-Yahud, Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan
istilah lainnya. Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Alquran sebanyak tiga puluh
satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas
kali, Utu nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali, Al-Ladzina
Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat
belas kali, dan Bani Israil empat
puluh satu kali. Kesan umum diperoleh bahwa bila Alquran menggunakan kata
Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka.
Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum
Muslim (QS. Al-Maidah [5]:82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan
Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS.
Al-Baqarah [2]:120), atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani
adalah putra-putra dan kinasih Allah
(QS. Al-Maidah [5]:18), atau pernyataan orang
Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS. Al-Maidah [5]: 64),
dan sebagainya.
Bila Alquran menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa
kecaman, misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah
dan menguranginya (QS. Al-Nisa’ [41]:46), atau bahwa mereka tekun mendengar
(berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS. Al-Maidah [5]:41), dan
ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan
benar untuk tidak akan mengalami
rasa takut atau sedih (QS. Al-Baqarah [2]:62).
Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan
dalam konteks positif dan pujian, misalnya surat Al-Maidah [5]:82 yang
menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang
Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah
[2]:120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai
kaum Muslim mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat
netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti dalam surat Al-Hajj [22];17
yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan
kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan demikian, kita dapat
mengatakan bahwa bila Alquran menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut
berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata
Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina
Hadu. Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]:120 yang berbunyi
"Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau
mengikuti agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan"
terhadap orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut
pakar-pakar bahasa Alquran, antara lain Az-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan,
kata "lan" digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan
penafian tersebut lebih kuat dari "la" yang digunakan untuk menafikan
sesuatu, tanpa mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia
terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.
Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu Yahudi
(Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab), maka ia pasti tidak akan rela
terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam
arti, menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju. Mufasir besar
Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini adalah menjelaskan: "Keadaan
mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan mereka, dan ketegaran mereka
dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan agar diikuti millat mereka.
Mereka tidak rela dengan kitab (suci yang dibawa beliau), bahkan mereka
berkeinginan (memperoleh) persetujuan beliau
menyangkut keadaan mereka. Dengan demikian (Allah) menjelaskan kerasnya
permusuhan mereka terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan
keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."
Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat
hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau mengikuti agama mereka) adalah:
Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi teksnya) keputusasaan
(tidak adanya kemungkinan) bagi orang Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam
ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul) mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena keikutan Nabi pada
ajaran mereka merupakan sesuatu yang mustahil, maka kerelaan mereka terhadap
beliau (Nabi) pun demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):
"Hingga masuk ke lubang
jarum" (QS. Al-A'raf [7]:40) dan (firman-Nya), "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS. Al-Kafirun [109]:2-3).
Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika itu"
untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya ditekankan oleh ayat ini
pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu ketika itu, bukan terhadap mereka semua,
karena kenyataan menunjukkan bahwa setelah
turunnya ayat ini ada di antara Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam.
Pengertian tersebut sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]:10: "Sama
saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, ataukah kamu
tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman." Yang
dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu ketika itu (pada masa Nabi),
bukan seluruh orang kafir karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian
besar dari orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam. Arti surat
Al-Baqarah [2]:120 di atas perlu ditegaskan, karena sering tertadi
kesalahpahaman tentang maknanya. Dan juga sebagaimana diketahui, Yudaisme
bukanlah agama dakwah, bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan
orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain, seperti dikemukakan
dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya surat Al-Baqarah [2]:120 di atas berkenaan
dengan pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang ditanggapi
oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu kaum Yahudi Madinah dan kaum
Nasrani Najran mengharapkan agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka
ke kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana dikemukakan oleh
As-Sayuthi dalam karyanya Ashab Al-Nuzul.
Penafian Alquran terhadap An-Nashara, tidak setegas penafiannya terhadap
Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi
juga kini dan di masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil
penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan kata
"lan" untuk orang Yahudi. Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang
menggunakan kata Ahl Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Alquran tentang
mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka, positif dan negatif
serta sikap yang hendaknya diambil oleh kaum Muslim terhadap mereka.
SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB
Alquran banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl Al-Kitab terhadap kaum
Muslim, dan berbicara tentang keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam.
Surat An-Nisa’ [4]:171 dan Al-Maidah [5]:77 mengisyaratkan bahwa mereka
memiliki paham keagamaan yang ekstrem.
"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu, dan jangan
mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" (QS. Al-Nisa’ [4]:171). Mereka
juga dinilai oleh Alquran sebagai telah mengkufuri ayat-ayat Allah, serta
mengingkari kebenaran (kenabian Muhammad Saw).
"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal
kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan
yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?"
(QS. Ali Imran [3]:70-71).
Nabi Muhammad Saw diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada
mereka: Katakanlah:
"Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami
beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa
yang diturunkan sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?" (QS. Al-Maidah [5]:59). Bahkan Allah Swt secara
langsung dan berkali-kali mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat
mereka sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat menyimpan
rahasia.
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS.
Al-Ma-idah [5]: 51).
Dalam QS.
Ali Imran [3]:118 kaum Muslim diingatkan untuk tidak menjadikan orang-orang di
luar kalangan Muslim sebagai bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia)
dengan alasan bahwaa
"...
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi kamu (kaum Muslim).
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut
mereka sedang apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami
telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan siapa lawan), jika
kalian memahaminya." (QS. Ali Imran [3]:118). Terhadap merekalah Nabi Saw
bersabda, "Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan
pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang di antara mereka di
jalan, maka desaklah ia ke pinggiran." (HR Muslim melalui Abu Hurairah).
Sahabat dan pembantu Nabi Saw, Anas bin Malik, berkata bahwa Nabi Saw bersabda,
"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah, Wa
'alaikum." (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang hukum memulai ucapan salam kepada orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya
tetapi banyak juga yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya bagi kaum Muslim
untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat
dalam hal ini. Alquran juga menyatakan bahwa, "Apabila mereka condong
kepada salam (perdamaian), maka condong pulalah kepadanya, dan berserah dirilah
kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.
Al-Anfal [8]:61). Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab
siapa pun mereka, walau Yahudi, tetap
dituntut oleh Alquran. Ulama-ulama Alquran menguraikan bahwa Nabi Saw pernah
cenderung mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak bersalah, karena bersangka
baik terhadap keluarga kaum Muslim yang menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur
oleh Allah dengan menurunkan surat An-Nisa’ [4]:105.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya engkau mengadili antar
manusia dengan apa yang Allah wahyukan
kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah)
karena (membela) orang-orang yang khianat."
APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?
Di atas telah dipaparkan sebagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang Ahl
Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat negatif mereka. Pertanyaan yang dapat
muncul adalah: "Apakah ayat-ayat di atas berlaku umum, menyangkut semua
Ahl Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?" Penggalan terakhir
surat Al-Ma-idah [5]:59 di atas menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl
Al-Kitab), perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini. Hemat penulis,
penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa tidak semua mereka bersikap
demikian. Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling tidak dalam dua
ayat berikut:
"Banyak
dari Ahl Al-Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati
mereka setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah
mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah [2]:109).
Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir yang seharusnya
diterjemahkan banyak, bukan kebanyakan sebagaimana dalam Alquran dan
Terjemahannya oleh Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:
"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal mereka
(sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka sendiri, dan mereka tidak
menyadarinya." (QS. Ali Imran [3]:69). Kalau melihat redaksi ayat di atas,
maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka tidak semua
mereka bersikap sama. Sejalan dengan ini, ada peringatan yang ditujukan kepada
kaum Mukmin yang menyatakan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sekelompok dari
Ahl Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir
sesudah kamu beriman." (QS. Ali Imran [3]:100). Nah, jika demikian dapat
dipahami keterangan Alquran yang menyatakan bahwa,
"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan yang
berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam
hari, sedang mereka juga bersujud." (QS. Ali Imran [3]:113) .
Sebelumnya dalam surat yang sama Alquran juga memberikan informasi,
"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya
harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan di antara mereka ada juga yang
jika kamu percayakan kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya
kepadamu, kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya). Yang demikian itu
karena mereka berkata (berkeyakinan) bahwa tidak ada dosa bagi kami
(memperlakukan tidak adil) terhadap orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata
dusta terhadap Allah padahal mereka mengetahui." (QS. Ali Imran [3]:75).
Demikian juga ketika Alquran mengungkap isi hati sebagian Ahl Al-Kitab
dinyatakannya bahwa:
"Permusuhan antar sesama mereka sangatlah hebat. Kamu menduga mereka
bersatu, padahal hati mereka berpecah
belah." (QS. Al-Hasyr [59]:14).
BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB
Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena itu sikap yang
diajarkan Alquran terhadap mereka pun berbeda, sesuai dengan sikap mereka.
Dalam sekian banyak ayat yang menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, terasa adanya
uluran tangan dan sikap bersahabat, walaupun di sana-sini Alquran mengakui
adanya perbedaan dalam keyakinan. Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Janganlah kamu berdebat dengan Ahl Al-Kitab, melainkan dengan cara
yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap orang-orang yang zalim di antara
mereka." (QS. Al-Ankabut [29]:46). Dalam beberapa kitab tafsir, seperti
juga pada catatan kaki Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di atas
adalah mereka yang setelah diberi penjelasan dengan baik, masih tetap
membantah, membangkang, dan menyatakan permusuhan.
Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak termasuk Ahl
Al-Kitab adalah kalimat Sawa' (kata sepakat), dan kalau ini tidak ditemukan,
maka cukuplah mengakui kaum Muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu
dan dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini Alquran
memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara kita yang
tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, yakni bahwa kita tidak
menyembah kecuali Allah, dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun,
dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka),
'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang menyerahkan
diri kepada Allah)." (QS. Ali Imran [3]:64).
Sekali lagi penulis katakan "sebagian mereka," karena Alquran
juga menggarisbawahi bahwa:
"Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada orang yang beriman kepada Allah, dan kepada apa
yang diturunkan kepada kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang
mereka berendah hati kepada Allah, dan
mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya" (QS. Ali Imran [3]:199). Memang, tidak sedikit dari Ahl
Al-Kitab yang kemudian dengan tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang
paling populer di antara mereka adalah Abdullah bin Salam. Al-Qurthubi dalam
tafsirnya meriwayatkan bahwa ketika
turun firman Allah:
"Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil)
mengenalnya (Muhammad Saw) sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka."
(QS. Al-Baqarah [2]:146). Umar Ra bertanya kepada Abdullah bin Salam,
"Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu?"
Abdullah menjawab, "Ya, bahkan
lebih. (Malaikat) yang terpercaya turun dari langit kepada manusia yang
terpercaya di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang
anakku) aku tidak tahu apa yang telah dilakukan ibunya."
AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA ALQURAN
Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Alquran perlu kiranya kita menoleh ke
sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. Sepuluh tahun
lamanya beliau melaksanakan misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di sana
adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota Makkah sendiri penganut agama
Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada. Musuh pertama dan utama ketika
itu adalah orang-orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Alquran sebagai
al-musyrikun. Penindasan kaum musyrik di Makkah terhadap kaum Muslim, memaksa
sebagian kaum Muslim melakukan hijrah pertama ke Ethiopia. Di sana mereka
disambut dengan baik oleh Negus, penguasa yang beragama Nasrani.
Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Aus dan Khazraj,
serta orang-orang Yahudi yang memiliki kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus
dan Khazraj saling bermusuhan dan berperang. Tidak jarang pula terjadi
perselisihan dan permusuhan antara mereka dengan orang Yahudi. Pertempuran dan
perselisihan itu melelahkan semua pihak; sayang tidak ada di antara mereka yang
memiliki wibawa yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai ini.
Orang-orang Yahudi sering mengemukakan
kepada Aus dan Khazraj, bahwa akan datang seorang Nabi (dari kelompok mereka),
dan bila ia datang pastilah kaum Yahudi akan mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam
konteks ini Alquran menyatakan, menyangkut orang Yahudi, bahwa,
"Setelah datang kepada
mereka Alquran dan Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon
(demi kedatangan Nabi yang dijanjikan) untuk mendapat kemenangan atas
orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui
mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar
itu." (QS. Al-Baqarah [2]:89). Yang dimaksud dengan "membenarkan apa
yang ada pada mereka" adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal ini
Nabi Muhammad Saw. Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang dimaksud dengan
"padahal sebelumnya mereka biasa memohon" adalah bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan
Arab Gathfan, tetapi mereka dikalahkan, maka
ketika itu orang-orang
Yahudi berdoa, "Kami bermohon kepada-Mu demi Nabi Ummi yang engkau
janjikan untuk mengutusnya kepada kami di akhir
zaman, menangkanlah kami
atas mereka" sehingga mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh
mereka.
Alquran juga menginformasikan bahwa keengganan mereka beriman disebabkan
oleh karena "kedengkian dan iri hati mereka." (QS. Al-Baqarah
[2]:109). Tadinya mereka menduga bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi
ternyata dari golongan Arab yang merupakan seteru mereka. Terbaca dari uraian
sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani hampir tidak ada di kota
Makkah. Itu pula sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim utusan ke
Madinah untuk memperoleh "pertanyaan berat" yang dapat diajukan
kepada Nabi Muhammad dalam rangka pembuktian kenabiannya. Ketika itu
orang-orang Yahudi Madinah menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa
itulah yang melatar belakangi turunnya firman Allah: "Mereka bertanya
kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak
diberi pengetahuan kecuali sedikit." (QS. Al-Isra' [17]:85). Kehadiran
Nabi Muhammad Saw ke Madinah, disambut baik oleh Aus dan Khazraj bukan saja
sebagai pemersatu mereka yang selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan
perdamaian, tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah utusan Allah,
yang sebelumnya telah mereka ketahui kehadirannya melalui orang-orang Yahudi. Adapun
orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di Yaman, bukan di Madinah.
Kalaupun ada yang di sana, mereka tidak mempunyai pengaruh politik atau
ekonomi, namun mereka juga disebut oleh Alquran sebagai Ahl Al-Kitab.
Kembali kepada persoalan di atas, ditemukan bahwa ulama-ulama tafsir bila
menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa
yang dimaksud dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena Alquran secara
tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam sifat dan sikapnya
terhadap Islam dan kaum Muslim (QS. Ali Imran [3]:113). Itu pula sebabnya,
dalam hal-hal yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Alquran
tidak jarang memberi penjelasan tambahan
yang berkaitan dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya.
Perhatikan misalnya ayat yang berbicara tentang kebolehan kawin dengan wanita
Ahl Al-Kitab, di sana ditambahkan kata wal muhshanat (wanita-wanita yang
memelihara kehormatannya), sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan
sembelihan mereka, Alquran mengemukakannya tanpa penjelasan atau syarat.
MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?
Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan kepada orang Yahudi,
bukan kepada orang Nasrani. Ini disebabkan karena sejak semula ada perbedaan sikap di antara kedua kelompok Ahl
Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan kembali penggunaan kata
"lan" dan "la" pada uraian di atas). Ketika Romawi yang
beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia yang menyembah api (614 M),
kaum Muslim merasa sedih, dan Alquran turun menghibur mereka dengan menyatakan
bahwa dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi akan menang,
dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:
"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang
terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun
(lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang) dan di hari
(kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa
yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (QS.
Al-Rum [30]:1-5).
Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim. Ini antara lain
terlihat dalam sambutan dan perlindungan yang diberikan oleh penguasa Ethiopia
yang beragama Nasrani kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar
jika secara tegas Alquran menyatakan:
*ĆĆĆĆ
"Sesungguhnya
kamu pasti akan menemukan orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan
sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan
orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini
orang Nasrani" (QS. Al-Maidah [5]:82). Sebab pokok perbedaan sikap
tersebut adalah kedengkian orang Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang
tidak berasal dari golongan mereka (QS. Al-Baqarah [2]:109). Kehadiran Nabi
kemudian mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di kalangan masyarakat Madinah
menciut, dan bahkan menghilangkan pengaruh politik dan kepentingan
ekonomi mereka.
Di sisi
lain, seperti pernyataan Alquran di atas, sebab kedekatan sebagian orang Nasrani
kepada kaum Muslim adalah:"Karena di antara mereka terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri." (QS. Al-Maidah [5]:82). Para pendeta ketika itu
relatif berhasil menanamkan ajaran moral yang bersumber dari ajaran Isa As,
sedang para rahib yang mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan diri dari
kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi pada ibadah), berhasil pula memberi
contoh kepada lingkungannya. Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya
kekuatan sosial politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah, sehingga
tidak ada faktor yang mengundang gesekan dan benturan antara kaum Muslim dengan
mereka. Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi pendeta-pendeta
mereka dikenal luas menerima sogok, memakan riba, dan masyarakatnya pun amat
materialistis-individualistis.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya benturan, bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi
atau golongan, kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus diakui bahwa
kepentingan tersebut dapat dikemas dengan kemasan agama, apalagi bila ajarannya
disalahpahami. Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya'
(pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari golongan Yahudi
dan Nasrani serta selain mereka, harus dipahami dalam konteks tersebut, seperti
firman Allah dalam surat Ali Imran [3]:118:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh
hati mereka adalah lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya."
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan
dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian mereka
dengan Nabi Saw, sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya:
"Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau bermaksud jahat
terhadap kaum Muslim." Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat tajam
pandangan beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, yang
menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan
Nasrani secara mutlak. Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu
dengan hadis Nabi Saw yang menyatakan, "(Kaum Muslim dan mereka) tidak
saling melihat api keduanya." Maksudnya seorang Muslim tidak wajar
bertempat tinggal berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya
salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu. Sebenarnya
hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam konteks umum seperti pemahaman
Al-Baidhawi, tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat
membutuhkan bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk tidak
tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat tinggal, tetapi mereka harus
berhijrah ke tempat lain guna mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.
Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal, sedangkan para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya
hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha berkomentar:
"Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan hadis
menjadi dangkal, apalagi keduanya (Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya
memiliki sedikit pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak merujuk kepada pendapat
salaf (ulama terdahulu yang diakui kompetensinya).{1}"
Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan pengertian larangan
di atas dengan larangan serupa dalam Alquran:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi." (QS. Ali Imran
[3]:118). Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul, sehingga ia
hanya berlaku terhadap orang yang cirinya demikian, kendati seagama, sebangsa,
dan seketurunan dengan seorang Muslim. "Sebagian orang tak menyadari sebab
atau syarat-syarat tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini
bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya larangan tersebut
mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang kafir ketika itu bersatu menentang
kaum Mukmin pada awal masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi
ayat ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi. Namun
demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah Swt
yang menurunkan mengetahui perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi
bagi bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang
Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang-orang Mukmin,
namun berbalik menjadi membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti
di Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan
Romawi." {2}
Dari sini dapat ditegaskan bahwa Alquran tidak menjadikan perbedaan agama
sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih-lebih mengambil
sikap tidak bersahabat. Bahkan Alquran sama sekali tidak melarang seorang
Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun
selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan atau
mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah
[60]:8 yang dikemukakan oleh Ibn Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah
(1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Alquran.{3} Atas dasar itu pula sejumlah
sahabat Nabi bahkan Nabi sendiri ditegur oleh Alquran karena enggan memberi
bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka enggan
memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika menjelaskan sebab turunnya ayat 272
surat Al-Baqarah:
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi
Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu
jua." {4}
Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh Alquran memelihara
rumah-rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan
pemeluk agama lain berdasarkan surat Al-Hajj [22]:40. "Sekiranya Allah
tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi,
dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa." Dari prinsip yang sama Alquran
membenarkan kaum Muslim memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini
wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya.
SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?
Di atas telah dikemukakan bahwa para ulama sepakat menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan
Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian, serta cakupan
istilah tersebut. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh
pakar-pakar Alquran ketika mereka menafsirkan surat Al-Maidah [5]:5, yang
menguraikan tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini
wanita-wanita yang memelihara kehormatannya. Al-Maududi, seorang pakar agama
Islam kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama tentang
cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}
Imam Syafi'i, memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang
menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa
dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga
karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan
perkawinan itu). Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu
Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang
mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka
ia termasuk Ahl Al-Kitab. Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada
kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu kelompok yang hanya percaya
kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud As) saja,
maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat ketiga
dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat
yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka
juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.
Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid
(pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha
dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh
pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi). Demikian
Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin
Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i,
demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati
makanan sembelihan orang-orang Majusi,
dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.{6} Uraian panjang lebar
menyangkut hal ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha {7} yang menurutnya
bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hukum mengawini
wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan
sembelihan mereka). Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang
lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin,
kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para
ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagaƵ berikut: "Kesimpulan fatwa
ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan
wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita
musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu
Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala
di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl
Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang."{8}
Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin)
menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai
pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian
Al-Qasimi menegaskan bahwa: "Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami
bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah
seorang Nabi yang benar."{9} Penulis cenderung memahami pengertian Ahl
Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan
dari keturunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan Alquran terhadap
istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan
Nasrani), dan sebuah ayat dalam Alquran,
"(Kami turunkan Alquran ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa,
'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami dan
sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS. Al-An'am
[6]:156).
Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain
orang Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya,
walaupun tidak termasuk dalam kategori
Ahl Al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab. Ini berdasarkan
sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya
Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan
perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan
redaksi: "tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini wanita mereka." Kalau tambahan
ini tidak dibenarkan, maka semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab,
berlaku pula terhadap mereka.
Sebagian lainnya menilai hadis tersebut berstatus mursal yakni sahabat Nabi
yang mendengar atau menerima hadis tersebut dari beliau tidak disebut dalam
rentetan transmisi riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut
dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan argumentasi
keagamaan. Sahabat Nabi Abdullah bin Umar mempunyai pendapat lain. Beliau
secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl
Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Ia mengatakan,
"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang
yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba
Allah." Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek
sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman, Ibnu Abbas, Thalhah,
Jabir, dan Khuzaifah, demikian pula para
pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:
1
Dalam sekian banyak ayat, Alquran
menyebut istilah al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab, dengan
menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."
"Orang-orang
kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu
kebaikan kepadamu dan Tuhanmu." (QS. Al-Baqarah [2]:105). Kata penghubung
semacam ini mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan
itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian juga
terlihat pada QS. Al-Bayyinah [98]:1 dan 6. Beberapa pakar tafsir, seperti
Thabathaba'i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
al-musyrikun dalam Alquran adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat
tinggal di Makkah.
2. Alquran sendiri telah menguraikan sekian banyak keyakinan. Ahl Al-Kitab,
yang pada hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau
bahwa Uzair demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun
demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas, Alquran membedakan
mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan
Musyrikun. Alquran seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat teliti
dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya kerancuan
dalam istilah-istilah Ahl Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar. Atas dasar
itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi'in, ulama-ulama masa awal dan
kontemporer tidak sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.
Penulis dapat memahami pendapat tersebut dengan memperhatikan latar
belakang sahabat mulia itu, yang dikenal sangat berhati-hati serta amat
gandrung meniru Nabi dalam segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan
kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat dengan pendapat di
atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang telah dianugerahkan
Alquran. Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah
perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan
Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan
keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat
terjalin apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan
hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa
tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl
Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung
cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak istrinya rasa tidak simpati
terhadap Islam dengan sikap baik sang suami Muslim yang berbeda agama itu
sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam. Adapun
jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya
sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan
tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati,
untuk dibubarkan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Sikap Alquran terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat positif. Tidak
ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dan bantu-membantu dengan
penganut Ahl Al-Kitab serta penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial,
budaya, dan ekonomi.
2. Kecaman yang terdapat dalam Alquran, lebih banyak tertuju kepada orang
Yahudi, dan kecaman tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sikap politik dan
ekonomi mereka.
3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun keadilan harus
diperlakukan terhadap semua pihak.
4. Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta implikasinya dalam
kehidupan sehari-hari, istimewa menyangkut perkawinan dan memakan binatang
halal hasil sembelihan mereka, diperselisihkan oleh para ulama. Dengan kata
lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, bila ia
memilih salah satu pendapat yang telah diuraikan di atas, dan dalam saat yang
sama sikap kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat dinilai
sebagai sikap terpuji.
Demikian sekelumit uraian Alquran tentang Ahl Al-Kitab. [Edisi April
'10].
Catatan kaki:
{1} Baca lebih jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
Thn. VIII, No. 86.
{6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
QS. Al-Maidah [5]: 5.
{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.
{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.
{9} Mabahis
At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar