SALAH satu ayat yang menggambarkan
dampak kehadiran Allah dalam jiwa manusia adalah firman-Nya,
"Allah membuat perumpamaan,
(yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang
berserikat dan saling berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari
seorang saja. Adakah keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi
Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Al-Zumar [39]:29).
Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat
kepada sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu
saling berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini
memerintahkan satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau memerintahkannya
dengan perintah lain, yang ketiga pun demikian. Begitu seterusnya, sehingga
pada akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui bagaimana
cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu dengan seorang budak lain yang
hanya menjadi milik penuh seseorang sehingga ia tidak mengalami kebingungan
atau kontradiksi dalam kesehariannya.
Menarik dikemukakan alasan Murtadha
Muthahhari yang juga memahami sebagaimana ulama-ulama lain, arti kata rajulan pada
ayat di atas dengan "budak." Ulama tersebut menulis dalam bukunya
Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementara orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa manusia
berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali). Sesungguhnya keinginan ini
(walaupun merupakan sesuatu yang mustahil) menjadikan manusia keluar dari
kemanusiaannya, karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakui adanya
hukum, tujuan, keinginan atau ide, dalam arti dia kosong sama sekali dari
keyakinan tertentu, dan keadaan demikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan.
Keadaan semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di dunia. Orang-orang
yang menghendaki kehidupan sebebas mungkin, serta tidak mengakui adanya sedikit
peraturan pun, pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan (ide tertentu)
atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Usaha ini menunjukkan bahwa
manusia harus menerima wewenang pengaturan dari keyakinan (ide yang ada dalam
benaknya). Jika demikian, tidak heran jika Alquran menggunakan istilah-istilah
yang mengandung arti budak (seseorang yang dimiliki oleh pihak lain).
Keadaan yang digambarkan oleh ayat
di atas, terbukti kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah imannya,
atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yang saling bertentangan. Sekali
dia taat kepada Tuhan, lain kali dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid,
lain kali ke klub malam. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budak sekian
penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimya ia mengidap kepribadian ganda
(split personality), yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk
penyakit kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Alquran menegaskan bahwa,
"Orang-orang yang beriman
dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Al-Ra'd [13]:28).
Kalau dalam ayat lain Alquran
menegaskan bahwa seandainya pada keduanya (langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan
(Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilah keduanya akan binasa.
(QS. Al-Anbiya, [21]:22), maka dalam QS. Al-Zumar [39]:29 di atas, Allah
berpesan bahwa seandainya di dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau
penguasa yang mengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusak binasa.
Kalau uraian di atas membuktikan
kebutuhan jiwa manusia kepada akidah tauhid, maka rangkaian pertanyaan berikut dapat
menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan akalnya terhadap akidah ini.
Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang menjamin bila Anda melontar ke
depan, maka batu itu tidak mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air
selalu mencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untuk memperoleh
semacam, kepastian dalam langkah-langkahnya?" Kepastian tersebut tidak
mungkin dapat diperoleh kecuali melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha
Esa. Karena jika Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur alam dan
menetapkan kehendak-Nya dan kali lain tuhan yang itu. Apa yang menjamin
kepastian itu, seandainya Tuhan Yang mengatur hukum-hukum dan tata kerja alam
raya, juga butuh kepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat.
Jika demikian, tauhid bukan saja
merupakan hakikat kebenaran yang harus diakui
karena diperlukan oleh jiwa manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya
demi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan pemikiran
manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme murni, setelah pada awalnya
menganut keyakinan politeisme (banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul dengan
kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan
berakhir dengan tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.
Apabila seseorang telah menganut
akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya berbagai
aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepada Allah, baik ibadah dalam
pengertiannya yang sempit (ibadah murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini
disebabkan karena akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua
dimensi dan aksi manusia. Karena itu,
"Allah tidak mengampuni siapa
yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi
siapa yang Dia kehendaki .” (QS. Al-Nisa, [4]: 48).
Kalau dalam alam raya ini ada
matahari yang menjadi sumber kehidupan makhluk di permukaan bumi ini, dan yang berkeliling
padanya planet-planet tata surya yang tidak dapat melepaskan diri darinya, maka
akidah tauhid merupakan matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di
sekitarnya kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau dilepaskan
darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalah kesatuan alam semesta, kesatuan
kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu,
kesatuan agama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan kepribadian
manusia, dan lain-lain.
Prinsip lengkap ini harus terus-menerus
dipelihara, diasah, dan diasuh. Memang boleh jadi seorang Muslim mengalami godaan
sehingga timbul tanda tanya menyangkut kehadiran Allah Yang Maha Esa itu. Yang
demikian adalah wajar-wajar saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan
itu. Hal ini dialami juga oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yang mengadukan
pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh Nabi Saw dengan bersabda, "Segala
puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan) menjadi waswasah
(bisikan)."
Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah
ditanya oleh Abu Zamil Sammak ibn
Al-Walid, "Apakah yang saya rasakan di dalam dadaku (ini)?" "Apakah
itu," tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah saya tidak akan
mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik, "Apakah semacam syak atau
keraguan?" Si penanya mengiyakan. Ibnu Abbas kemudian berkata, "Tidak
seorang pun (dari kami) yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun
firman Allah:
"Apabila kamu dalam keraguan
dari apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang
membaca kitab sebelum kamu." (QS. Yunus [10]:94). “Apabila engkau
mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal, Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir
(tampak melalui ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikat Zat-Nya),
dan Dia. Maha Menge tahui segala sesuatu."
Demikian Allah Swt. Karena itu wajar
kita bermohon:
"Wahai Tuhan kami, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya
Engkaulah Maha Pemberi anugerah." (QS. Ali 'Imran 13]:8). [Edisi Mei ‘10].
Catatan kaki:
-------------
1 Wahyu pertama adalah lima ayat
pertama surat Al-'Alaq. Di sana tidak
ada kata "Allah." Wahyu
kedua adalah beberapa ayat dari surat Al-Qalam. Dalam surat ini tidak disebut kata
"Allah." Wahyu ketiga adalah awal surat Al-Muzammil. Dalam surat ini
kata Rabbika ditemukan dua kali, dan kata "Allah" tujuh kali, yaitu
pada ayat terakhir (kedua puluh). Dapat dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut
turun setelah Nabi hijrah ke Madinah, karena ayat tersebut berbicara tentang
keterlibatan para sahabat dalam peperangan, sedangkan peperangan pertama baru
terjadi pada tahun kedua Hijriah.
Wahyu keempat adalah awal surat Al-Muddatstsir
(tujuh ayat pertama). Dalam tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti Tuhan
Yang Maha Esa adalah "Rabbika" yang disebut sebanyak dua kali. Benar
bahwa dalam surat tersebut ditemukan kata "Allah" sebanyak empat
kali, tetapi ayat-ayatnya bukan merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama. Wahyu
kelima adalah surat Al-Lahab (Tabbat). Dalam surat ini tidak ditemukan kata apa
pun yang menunjukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Wahyu keenam adalah surat At-Takwir.
Pada ayat terakhir (ke-29) surat ini, ditemukan kata dengan predikat Rabbul 'Alamin,
namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama, ayat itu turun terpisah dari
ayat-ayat sebelumnya.
Wahyu ketujuh adalah surat
"Sabbihisma." Dalam surat ini disebutkan kata-kata
"Rabbuka," "Allah," dan "Rabbihi" masing-masing
sekali. Di sinilah kata "Allah" disebutkan untuk pertama kalinya
dalam rangkaian wahyu-wahyu Alquran. Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini
justru menjelaskan sifat-sifat Allah Yang Mahasuci, serta perbuatan- perbuatan-Nya.
Wahyu kedelapan adalah Alam Nasyrah,
wahyu kesembilan Al-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha, wahyu
kedua belas Al-Lail, wahyu ketiga belas Al-'Adiyat, wahyu keempat belas
Al-Kautsar, wahyu kelima belas At-Takwir, wahyu keenam belas At-Takatsur, wahyu
ketujuh belas Al-Ma'un, wahyu kedelapan belas Al-Fil.
Dalam Wahyu kedelapan hingga
kedelapan belas tersebut di atas, tidak terdapat kata "Allah." Nanti
pada wahyu kesembilan belas yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata Allah
dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum musyrik yang mempertanyakan
tentang Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar