Rabu, 31 Oktober 2012

MAKANAN




MAKANAN atau tha'am dalam bahasa Alquran adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun termasuk dalam pengertian tha'am. Alquran surat Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan) untuk objek berkaitan dengan air minum. Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Alquran sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya. Perhatian Alquran terhadap makanan sedemikian besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i, "Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Alquran bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)." Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Alquran menjadikan kecukupan pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran beribadah kepada Allah. Begitu antara lain kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106):3-4,

"Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala macam ketakutan."

PERINTAH MAKAN

Menarik untuk disimak bahwa bahasa Alquran menggunakan kata akala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas "makan". Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata dalam arti "memasukkan sesuatu ke tenggorokan", tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya surat Al-Nisa' [14]:4:
 “Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin tersebut. Firman Allah dalam surat Al-An'am (6:121),
 “Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya).” Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar, sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan. Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas, kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang Mukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan kata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat  yang memerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima di antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Dua dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks memakan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.

Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya, baik ketika  berbuka puasa maupun selainnya, dapat mengantar sang Mukmin mengingat pesan-pesan-Nya.

APA YANG HALAL DIMAKAN?

Alquran menyatakan,
 “Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah [2]:29).
 “Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13). Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut dan beberapa ayat lain, para ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat di dalamnya juga adalah halal. Karena itu Alquran bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia. Katakanlah,
"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS.  Yunus [10]:59).

Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah, baik melalui Alquran maupun Rasul, sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas dasar ini, turun perintah-Nya antara lain dalam surat Al-Baqarah (2):168,

“Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayat-ayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi Saw. Makanan yang diuraikan oleh Alquran dapat dibagi dalam tiga kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.

1. Tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu. Surat 'Abasa yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya menyebutkan sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.
 “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu.” (QS. 'Abasa [80]:24-32). Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.

2. Adapun makanan jenis hewani, maka Alquran membaginya dalam dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat. Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Alquran surat Al-Nahl (16):14 menegaskan:
 “Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya).” Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Maidah [5]:96:
 “Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.” "Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Sedang kata "makanan yang berasal dari laut" adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan tentang laut: “Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya.” Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah (5):96.
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Alquran, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. Adapun hewan yang hidup di darat, maka Alquran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram. Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu. Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6):145,
 “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah...”

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2):173. Imam Syafi'i, misalnya, berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor). Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul Saw sebagai penjelas kitab suci Alquran. Surat Al-A'raf (7):157 melukiskan Nabi Muhammad Saw antara lain sebagai: “Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).”

Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya. Di samping itu, Alquran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:
 “Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan.” (QS. Al-An'am [6]:121). [Edisi Mei '10].

AHL AL-KITAB





BERBICARA mengenai wawasan Alquran tentang suatu masalah tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang berbicara menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan tujuan pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis dilakukan terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah, asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi (Sunah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh pakar-pakar Alquran dengan istilah pendekatan "tematis" (maudhu'i). Bahasan ini mencoba menerapkan metode  tersebut, walaupun dalam bentuk yang terbatas, karena penerapannya secara sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar berkompeten dalam bidang Alquran.

ISTILAH-ISTILAH ALQURAN

Salah satu keistimewaan Alquran adalah ketelitian redaksinya. Tidak  heran, karena redaksi tersebut bersumber langsung dari Allah Swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab. Selain istilah Ahl Al-Kitab, Alquran juga menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud, Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah lainnya. Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Alquran sebanyak tiga puluh satu  kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali, Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat  belas  kali, dan Bani Israil empat puluh satu kali. Kesan umum diperoleh bahwa bila Alquran menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS. Al-Maidah [5]:82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS. Al-Baqarah [2]:120), atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah
 (QS. Al-Maidah [5]:18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS. Al-Maidah [5]: 64),
dan sebagainya.

Bila Alquran menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan menguranginya (QS. Al-Nisa’ [41]:46), atau bahwa mereka tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS. Al-Maidah [5]:41), dan ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk tidak  akan  mengalami  rasa  takut  atau sedih (QS. Al-Baqarah [2]:62).
Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian, misalnya surat Al-Maidah [5]:82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah [2]:120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti dalam surat Al-Hajj [22];17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Alquran menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu. Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]:120 yang berbunyi
"Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut pakar-pakar bahasa Alquran, antara lain Az-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat dari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab), maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti, menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju. Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini adalah menjelaskan: "Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga (di samping kekufuran itu)  berkeinginan agar diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh) persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."

Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau mengikuti agama mereka) adalah: Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul) mengikuti  agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):
"Hingga masuk ke  lubang jarum" (QS. Al-A'raf [7]:40) dan (firman-Nya), "Aku tidak akan  menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS.  Al-Kafirun [109]:2-3).

Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan menunjukkan bahwa setelah  turunnya ayat ini ada di antara Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]:10: "Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman." Yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam. Arti surat Al-Baqarah [2]:120 di atas perlu ditegaskan, karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah, bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain, seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya surat Al-Baqarah [2]:120 di atas berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam karyanya Ashab Al-Nuzul.

Penafian Alquran terhadap An-Nashara, tidak setegas penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan kata "lan" untuk orang Yahudi. Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Alquran tentang mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka, positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh kaum Muslim terhadap mereka.

SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB

Alquran banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara tentang keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat An-Nisa’ [4]:171 dan Al-Maidah [5]:77 mengisyaratkan bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.
"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu, dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" (QS. Al-Nisa’ [4]:171). Mereka juga dinilai oleh Alquran sebagai telah mengkufuri ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabian Muhammad Saw).

"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?" (QS. Ali Imran [3]:70-71).

Nabi Muhammad Saw diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada mereka: Katakanlah:
"Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?" (QS. Al-Maidah [5]:59). Bahkan Allah Swt secara langsung dan berkali-kali mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat menyimpan rahasia.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al-Ma-idah [5]: 51).

Dalam QS. Ali Imran [3]:118 kaum Muslim diingatkan untuk tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan alasan bahwaa
"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS. Ali Imran [3]:118). Terhadap merekalah Nabi Saw bersabda, "Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran." (HR Muslim melalui Abu Hurairah). Sahabat dan pembantu Nabi Saw, Anas bin Malik, berkata bahwa Nabi Saw bersabda, "Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah, Wa 'alaikum." (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama  sepakat dalam hal ini. Alquran juga menyatakan bahwa, "Apabila mereka condong kepada salam (perdamaian), maka condong pulalah kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Anfal [8]:61). Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab siapa pun mereka,  walau Yahudi, tetap dituntut oleh Alquran. Ulama-ulama Alquran menguraikan bahwa Nabi Saw pernah cenderung mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak bersalah, karena bersangka baik terhadap keluarga kaum Muslim yang menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur oleh Allah dengan menurunkan surat An-Nisa’ [4]:105.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya engkau  mengadili antar manusia dengan apa yang Allah  wahyukan kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat."

APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?

Di atas telah dipaparkan sebagian dari ayat-ayat yang berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah ayat-ayat di atas berlaku umum, menyangkut semua Ahl Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?" Penggalan terakhir surat Al-Ma-idah [5]:59 di atas menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab), perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini. Hemat penulis, penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa tidak semua mereka bersikap demikian. Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling tidak dalam dua ayat berikut:

"Banyak dari Ahl Al-Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati mereka setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah  Mahakuasa  atas  segala  sesuatu." (QS. Al-Baqarah [2]:109).

Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir yang seharusnya diterjemahkan banyak, bukan kebanyakan sebagaimana dalam Alquran dan Terjemahannya oleh Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:
"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka sendiri, dan mereka tidak menyadarinya." (QS. Ali Imran [3]:69). Kalau melihat redaksi ayat di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka tidak semua mereka bersikap sama. Sejalan dengan ini, ada peringatan yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sekelompok dari Ahl Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu beriman." (QS. Ali Imran [3]:100). Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan Alquran yang menyatakan bahwa,
"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud." (QS. Ali Imran [3]:113) .

Sebelumnya dalam surat yang sama Alquran juga memberikan informasi,
"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan di antara mereka ada juga yang jika kamu percayakan kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya). Yang demikian itu karena mereka  berkata  (berkeyakinan) bahwa tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah padahal mereka mengetahui." (QS. Ali Imran [3]:75). Demikian juga ketika Alquran mengungkap isi hati sebagian Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:
"Permusuhan antar sesama mereka sangatlah hebat. Kamu menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah  belah." (QS. Al-Hasyr [59]:14).

BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB

Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena itu sikap yang diajarkan Alquran terhadap mereka pun berbeda, sesuai dengan sikap mereka. Dalam sekian banyak ayat yang menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat, walaupun di sana-sini Alquran mengakui adanya perbedaan dalam keyakinan. Perhatikan firman Allah berikut ini:
"Janganlah kamu berdebat dengan Ahl Al-Kitab, melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap orang-orang yang zalim di antara mereka." (QS. Al-Ankabut [29]:46). Dalam beberapa kitab tafsir, seperti juga pada catatan kaki Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di atas adalah mereka yang setelah diberi penjelasan dengan baik, masih tetap membantah, membangkang, dan menyatakan permusuhan.

Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat Sawa' (kata sepakat), dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum Muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini Alquran memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), 'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)." (QS. Ali Imran [3]:64).

Sekali lagi penulis katakan "sebagian mereka," karena Alquran juga menggarisbawahi bahwa:
"Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada orang  yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah,  dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya" (QS. Ali Imran [3]:199). Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer di antara mereka adalah Abdullah bin Salam. Al-Qurthubi dalam tafsirnya  meriwayatkan bahwa ketika turun firman Allah:
"Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad Saw) sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka." (QS. Al-Baqarah [2]:146). Umar Ra bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu?" Abdullah  menjawab, "Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang anakku) aku tidak tahu apa yang telah dilakukan ibunya."

AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA ALQURAN

Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Alquran perlu kiranya kita menoleh ke sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. Sepuluh tahun lamanya beliau melaksanakan misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota Makkah sendiri penganut agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada. Musuh pertama dan utama ketika itu adalah orang-orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Alquran sebagai al-musyrikun. Penindasan kaum musyrik di Makkah terhadap kaum Muslim, memaksa sebagian kaum Muslim melakukan hijrah pertama ke Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik oleh Negus, penguasa yang beragama Nasrani.

Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi yang memiliki kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling bermusuhan dan berperang. Tidak jarang pula terjadi perselisihan dan permusuhan antara mereka dengan orang Yahudi. Pertempuran dan perselisihan itu melelahkan semua pihak; sayang tidak ada di antara mereka yang memiliki wibawa yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai ini. Orang-orang Yahudi sering  mengemukakan kepada Aus dan Khazraj, bahwa akan datang seorang Nabi (dari kelompok mereka), dan bila ia datang pastilah kaum Yahudi akan mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini Alquran menyatakan, menyangkut orang Yahudi, bahwa,
"Setelah  datang  kepada  mereka  Alquran dan Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (demi kedatangan Nabi yang dijanjikan) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar itu." (QS. Al-Baqarah [2]:89). Yang dimaksud dengan "membenarkan apa yang ada pada mereka" adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal ini Nabi Muhammad Saw. Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka biasa memohon" adalah  bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan Arab Gathfan, tetapi mereka dikalahkan, maka  ketika  itu orang-orang Yahudi  berdoa, "Kami  bermohon kepada-Mu demi Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami di akhir  zaman,  menangkanlah  kami  atas mereka" sehingga mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.

Alquran juga menginformasikan bahwa keengganan mereka beriman disebabkan oleh karena "kedengkian dan iri hati mereka." (QS. Al-Baqarah [2]:109). Tadinya mereka menduga bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari golongan Arab yang merupakan seteru mereka. Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani hampir tidak ada di kota Makkah. Itu pula sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim utusan ke Madinah untuk memperoleh "pertanyaan berat" yang dapat diajukan kepada Nabi Muhammad dalam rangka pembuktian kenabiannya. Ketika itu orang-orang Yahudi Madinah menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa itulah yang melatar belakangi turunnya firman Allah: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit." (QS. Al-Isra' [17]:85). Kehadiran Nabi Muhammad Saw ke Madinah, disambut baik oleh Aus dan Khazraj bukan saja sebagai pemersatu mereka yang selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan perdamaian, tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah utusan Allah, yang sebelumnya telah mereka ketahui kehadirannya melalui orang-orang Yahudi. Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun mereka juga disebut oleh Alquran sebagai Ahl Al-Kitab.

Kembali kepada persoalan di atas, ditemukan bahwa ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena Alquran secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam sifat dan sikapnya terhadap Islam dan kaum Muslim (QS. Ali Imran [3]:113). Itu pula sebabnya, dalam hal-hal yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Alquran tidak jarang  memberi penjelasan tambahan yang berkaitan dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya. Perhatikan misalnya ayat yang berbicara tentang kebolehan kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana ditambahkan kata wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara kehormatannya), sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan mereka, Alquran mengemukakannya tanpa penjelasan atau syarat.

MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?

Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan kepada orang Yahudi, bukan kepada orang Nasrani. Ini disebabkan karena sejak semula ada  perbedaan sikap di antara kedua kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas). Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih, dan Alquran turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi akan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:
"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah  orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Rum [30]:1-5).

Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim. Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan perlindungan yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama Nasrani kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar jika secara tegas Alquran menyatakan:
*ƇƑƋƈ
"Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini orang Nasrani" (QS. Al-Maidah [5]:82). Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasal dari golongan mereka (QS. Al-Baqarah [2]:109). Kehadiran Nabi kemudian mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di kalangan masyarakat Madinah menciut, dan bahkan menghilangkan pengaruh politik dan  kepentingan  ekonomi mereka.

Di sisi lain, seperti pernyataan Alquran di atas, sebab kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:"Karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri." (QS. Al-Maidah [5]:82). Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran moral yang bersumber dari ajaran Isa As, sedang para rahib yang mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi pada ibadah), berhasil pula memberi contoh kepada lingkungannya. Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya kekuatan sosial politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah, sehingga tidak ada faktor yang mengundang gesekan dan benturan antara kaum Muslim dengan mereka. Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok, memakan riba, dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualistis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya benturan,  bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau golongan, kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus diakui bahwa kepentingan tersebut dapat dikemas dengan kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami. Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya' (pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus dipahami dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran [3]:118:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati  mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."

Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi Saw, sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya: "Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim." Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat tajam pandangan beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, yang menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak. Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu dengan hadis Nabi Saw yang menyatakan, "(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya." Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu. Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.

Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal, sedangkan  para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha berkomentar: "Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya (Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit pengetahuan hadis, dan keduanya  pun tidak banyak merujuk kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui kompetensinya).{1}"

Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam Alquran:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi." (QS. Ali Imran [3]:118). Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul, sehingga ia hanya berlaku terhadap orang yang cirinya demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan seorang Muslim. "Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi. Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah Swt yang menurunkan mengetahui perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi." {2}

Dari sini dapat ditegaskan bahwa Alquran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih-lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan Alquran sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]:8 yang dikemukakan oleh Ibn Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Alquran.{3} Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi sendiri ditegur oleh Alquran karena enggan memberi bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu jua." {4}

Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh Alquran memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain berdasarkan surat Al-Hajj [22]:40. "Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa." Dari prinsip yang sama Alquran membenarkan kaum Muslim memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya.

SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?

Di atas telah dikemukakan bahwa para ulama sepakat menyatakan  bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian, serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Alquran ketika mereka menafsirkan surat Al-Maidah [5]:5, yang menguraikan tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya. Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama  tentang  cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}

Imam Syafi'i, memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu). Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab. Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian,  bila ada satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud As) saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi). Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati makanan sembelihan orang-orang  Majusi, dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.{6} Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha {7} yang menurutnya bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hukum mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka). Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagaƵ berikut: "Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang."{8}

Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa: "Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar."{9} Penulis cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan Alquran terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam Alquran,
"(Kami turunkan Alquran ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS. Al-An'am [6]:156).

Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun  tidak termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab. Ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: "tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga  mengawini wanita mereka." Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku  pula terhadap mereka.

Sebagian lainnya menilai hadis tersebut berstatus mursal yakni sahabat Nabi yang mendengar atau menerima hadis tersebut dari beliau tidak disebut dalam rentetan transmisi riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan argumentasi keagamaan. Sahabat Nabi Abdullah bin Umar mempunyai pendapat lain. Beliau secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Ia mengatakan, "Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah." Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman, Ibnu Abbas, Thalhah, Jabir, dan  Khuzaifah, demikian pula para pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:

1  Dalam sekian banyak ayat, Alquran menyebut istilah al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab, dengan menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."

"Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu." (QS. Al-Baqarah [2]:105). Kata penghubung semacam ini mengandung makna adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian juga terlihat pada QS. Al-Bayyinah [98]:1 dan 6. Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam Alquran adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah.

2. Alquran sendiri telah menguraikan sekian banyak keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau bahwa Uzair demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas, Alquran membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun. Alquran seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar. Atas dasar itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi'in, ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.

Penulis dapat memahami pendapat tersebut dengan memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi dalam segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang telah dianugerahkan Alquran. Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah  dapat  terjalin apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam. Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati, untuk dibubarkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Sikap Alquran terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab serta penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.

2. Kecaman yang terdapat dalam Alquran, lebih banyak tertuju kepada orang Yahudi, dan kecaman tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.

3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.

4. Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta implikasinya dalam kehidupan sehari-hari, istimewa menyangkut perkawinan dan memakan binatang halal hasil sembelihan mereka, diperselisihkan oleh para ulama. Dengan kata lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah diuraikan di atas, dan dalam saat yang sama sikap kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat dinilai sebagai sikap terpuji.

Demikian sekelumit uraian Alquran tentang Ahl Al-Kitab. [Edisi April '10].

Catatan kaki:
  
{1} Baca lebih jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
    Thn. VIII, No. 86.

{6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
    QS. Al-Maidah [5]: 5.
{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.
{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.
{9} Mabahis At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.