Kamis, 25 Oktober 2012

Harta itu untuk Beribadah




Harta mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan manusia, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Tanpa harta (uang) manusia akan timpang dalam kehidupannya. Dalam khazanah keilmuan Islam, posisi uang masuk dalam kategori kulliayâtu al-Khamsah (lima kebutuhan manusia yang harus dijaga) dalam menciptakan cita-cita hidupnya di dunia maupun di akhirat. Diantara lima kebutuhan manusia yang harus dijaga adalah menjaga al-Dîn  (agama), menjaga nafs (jiwa), menjaga al-Aql (akal), menjaga nasl (keturunan), dan menjaga al-Mâl (uang).

Bagi kehidupan manusia, uang juga termasuk sebuah nikmat Allah yang nampak. Karena uang adalah sebuah nikmat yang diperoleh setelah ada proses usaha. Harta atau uang juga termasuk salah satu hiasan dunia untuk memuliakan manusia. Ada sebuah kata mutiara yang berbunyi, "Carilah ilmu dan harta (uang) dalam kehidupan ini, maka kamu akan mendapatkan kedudukan di kalangan manusia. Karena mereka terdiri dari orang-orang yang khusus dan umum. Orang khusus memuliakan kamu karena ilmu dan orang awam memulikan kamu karena harta."

Ketika kita sudah mengetahui begitu pentingnya perananan uang, maka seyogianya kita harus menjaga dan menggunakannya dengan sebaik mungkin untuk beribadah dan mencari ridha-Nya. Banyak cara untuk membelanjakan uang di jalan Allah semisal zakat, shadaqah, infaq, wakaf, dan perbuatan-perbuatan sosial lainnya. Kriteria harta yang dibelanjakan di jalan Allah haruslah harta yang baik-baik. Dalam firman-Nya, Allah menegaskan,

"Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji." (Al-Imran: 267)

Seorang hamba yang membelanjakan uang fisabilillah tentu lebih baik dan mendapatkan pahala yaitu surga dari pada menghambur-hamburkannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Hal ini seperti ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran yang berbunyi,

"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar." (Al-Hadid: 7)

Mengenai tafsir ayat ini, Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya tafsir al-Wajîz mengatakan, wahai manusia setelah kamu semua sekalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka berinfak dan bershadaqahlah dengan harta (uang) yang telah kamu kuasai. Pada hakekatnya uang itu adalah titipan dan milik-Nya. Maka belanjakanlah di jalan-Nya sehingga kamu mendapatkan surga.

Pada ayat berikutnya dijelaskan tentang pahala yang berlipat ganda jika kita meminjamkan (membelanjakan harta) di jalan Allah dengan ikhlas, tanpa menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.

"Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia." (Al-Hadid: 11).

Dua ayat di atas adalah sebuah janji Allah kepada kita jika kita membelanjakan uang kita di jalan-Nya. Tentunya Allah sebagai pemilik alam raya ini tidak pernah menyelisi janji-Nya dan sudah menjadi kewajiban Allah untuk memberikan nikmat dan pahala bagi hamba-Nya yang selalu berbuat baik.

Di lain sisi ketika kita diperintah untuk membelanjakan harta (uang), kita juga jangan menjadi seorang hamba yang diperbudak oleh harta, karena ketika kita menjadi budak uang, hidup kita akan celaka dan sengsara. Rasullah Saw bersabda,

"Celakalah hamba penyembah Dinar dan hamba penyembah Dirham." (HR: Bukhari).

Marilah kita sebagai hamba muslim yang ideal bisa membelanjakan harta (uang) kita fisabilillah setelah kebutuhan-kebutuhan hidup terpenuhi. Selain itu, tidak baik pula jika kita banyak harta tapi berlebihan dalam memperhatikan harta itu sehingga kita diperbudak dan menjadi hamba uang. Maka celakalah kita. Wallahu’alam bi al-Shawâb.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar